Perjalanan Rubicon Sang Pangeran
Misteri lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro (kabar24.bisnis.com) |
“Otobiografi Babad Diponegoro sebagai monumen kearifan budaya dunia yang indah nyaris remuk dimakan rayap dan lenyap oleh buta-sejarah bangsanya. Namun totalitas keilmuan Peter Carey telah membangkitkannya menjadi historiografi yang melampaui takdirnya. Kelana rohani Pangeran Diponegoro mengatasi pelintasan arus perbedaan antara dunia lama dan dunia baru. Gerakan perlawanan Pangeran Diponegoro pantas terbilang sebagai kompas kepemimpinan dan kejuangan bangsa” - PM Laksono –
Entah mengapa saya tertarik dengan sejarah. Entah mengapa pula saya ingin
menceritakan sosok Pangeran Diponegoro. Ya, saya harus tau sejarah beliau.
Beliau adalah leluhur saya. Saya akan tau siapa sejatinya saya jika saya tau
siapa leluhur saya.
Saya tahu cerita akan leluhur saya justru
dari orang asing. Ya, Peter Brian Ramsay Carey (lebih dikenal dengan Peter
Carey). Seorang sejarawan berkebangsaan Inggris. Seorang Profesor Emeritus di
Trinity College, Oxford, Inggris. Kini, beliau juga menjabat sebagai Adjunct
Profesor di Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Beliau
melakukan penelitian lebih dari 30 tahun tentang Pangeran Diponegoro dan latar
belakang Perang Jawa atau Perang Diponegoro. Pantas saja jika PM Laksono
mengatakan bahwa
“kearifan budaya dunia yang indah nyaris remuk dimakan rayap
dan lenyap oleh buta-sejarah bangsanya”
Mungkin tidak banyak yang tahu bahkan tak
mau tahu tentang apa yang terjadi pada tanggal 04 Mei. Ya, awal bulan Mei
merupakan pekan dengan rentetan sejarah dan peristiwa dalam negeri (Indonesia).
01 Mei, Hari Buruh. Sering dikenal dengan istilah May Day. Hari lahir salah satu tokoh penting tonggak pendidikan
nasional Ki Hadjar Dewantara pada 02 Mei, sering dikenal dengan Hari
Pendidikan. 03 Mei, tepatnya 1956, Indonesia membatalkan hubungan
Indonesia-Belanda berdasarkan KMB. 04 Mei, sejarah apa yang tercatat? Mungkin
tak masuk dalam pelajaran sejarah SD, SMP, bahkan SMA.
186 tahun silam, tepatnya 04 Mei 1830
merupakan salah satu peristiwa bersejarah dalam kaleidoskop Indonesia. Hari
di mana Sang Pangeran pergi. Pergi bukan untuk kembali. Pergi, untuk selamanya.
Pangeran Diponegoro tidak akan menginjakan kakinya kembali di Tanah Jawa. Tanah
kelahiran sekaligus tanah yang dicintainya. Tanah yang memiliki pergolakan
dirinya dengan Keraton Yogyakarta dan pihak Kolonial. Akhir perlawanannya,
Perang Jawa (1825-1830).
Semburat jingga mengintip di ufuk timur, di
teluk Batavia korvet Belanda Pollux
segera membentangkan layar, menghantar tawanan Perang Jawa. Kapal Pollux terlambat membentangkan layarnya,
03 Mei 1830 adalah tanggal dimana dia harus mengarungi samudera. Namun karena faktor
teknis dan cuaca, pelayaran tersebut ditunda dan diundur satu hari. Sang
Pangeran beserta 19 pengikutnya yang terdiri dari 11 pria dan 8 wanita mulai
menapaki tangga dengan langkah pasrah guna memasuki kapal pada 03 Mei tersebut.
Ditemani oleh salah seorang pejabat Belanda bernama Roeps serta pejabat
Kolonial di Batavia. Sang Pangeran dan pengikutnya bermalam di kapal korvet
Belanda tersebut.
"Pangeran Diponegoro merasa gusar dan ingin segera
meninggalkan Tanah Jawa. Pangeran Diponegoro merasa malu jika ia melihat tanah
kelahirannya itu. Malu karena sebagai seorang pemimpin dengan gelar keagamaan Kanjeng Sultan Ngabdul Khamid Herucakra
Kabirul Mu’minin Sayidin Panatagama Rasulullah SAW ing Tanah Jawi seolah
tidak dapat memberikan kemenangan"
Penangkapan dan pengasingan Sang Pangeran dimulai ketika ia berada di Magelang, 28 Maret 1830. Sepuluh hari berikutnya, 08 April 1830 hingga 03 Mei 1830.
“Ia ditempatkan dalam dua kamar panjang di
lantai atas pemukiman kepala penjara atau cipiers
woning Batavia yang berada langsung di atas penjara bawah tanah itu”
lantun Landung Simatupang, seniman teater kawakan asal Yogyakarta dalam pentas
pembacaan dramatik “Sang Pangeran: Ke Pengasingan” yang digelar di gedung Balai
Kota Batavia (kini Museum Sejarah Jakarta).Suasana takzim ketika pentas pembacaan dramatik oleh Landung Simatupang (nationalgeographic.co.id) |
Dalam masa penahanan, kondisi Sang Pangeran
terus mengalami penurunan akibat kelelahan. Tenaga dan pikirannya terkuras
selama Perang Jawa, ditambah dengan penyakit tropis malaria yang mendera. 50
serdadu pilihan Belanda mengawal Sang Pangeran menuju tempat pengasingan,
Minahasa (Manado). Semua barang dan persenjataan Pangeran Diponegoro dilucuti.
Kecuali, Ki Ageng Bondoyudo. Keris pribadi Sang Pangeran yang setia menemani, hingga
akhir hayatnya kelak.
Fajar merekah di tanggal 04 mei 1830,
pertanda Sang Pangeran akan menyusuri samudera luas di atas kapal perang Belanda
Pollux. Konon, Pollux berlayar tanpa henti di pelabuhan Nusantara manapun selama
perjalanan menuju labuhan terakhirnya di Minahasa (Manado) pada Juni 1830.
Peristiwa ini merupakan suatu perjalanan Rubicon
Pengobar Perang Jawa itu. Dalam kondisi lemah akibat malaria yang menderanya,
Sang Pangeran menulis catatan perjalanan dan perjuangan hidup diatas kapal Pollux.
"Layar terkembang dan kami meninggalkan Batavia menuju
Manado, tetapi tidak ada angin sehingga kapal berjalan sangat lambat.
Banyak dari orang laknat itu serdadu dan awak kapal
Belanda jatuh sakit dan modar di kapal. Sultan pun gundah hatinya: “Barangkali
kami akan mati semua dan tidak sampai ke Manado”. Kita tidak akan membahasnya
lagi.
Dua setengah bulan Sultan dari Batavia ke manado
karena tidak ada angin"
(Babad Diponegoro IV:200)
Lukisan berjudul ‘En Historiches Tableau, die Gaffenganhame des Javanischen Hauptlings Diponegoro’ karya Raden Saleh. Beliau mengabadikan saat-saat penangkapan Sang Pangeran yang ditorehkan ke dalam kanvas, dibuat pada tahun 1857.
Posting Komentar
Posting Komentar