Meneladani Semangat Gotong Royong Leluhur Melalui Pesona Kebhinnekaan

Malam tirakatan Camp Pesona Kebhinnekaan (@genpiJOGJA)
 "Apakah kelemahan kita: Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya Rakyat Gotong Royong", Pidato HUT Republik Indonesia, 1966 Bung Karno
Bulan Agustus belum usai. Beberapa hari yang lalu warga Indonesia merayakan hari ulang tahun negaranya. Kamis, 17 Agustus 2017 tujuh puluh dua tahun sudah negara Indonesia merdeka. Untuk memperingati dan merayakan hari ulang tahun tersebut, masyarakat mewarnainya dengan beraneka ragam. Mulai dari menggelar lomba sampai dengan upacara bendera.

Tujuh puluh dua tahun yang lalu, pendahulu bangsa Indonesia telah sampai di depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia. Bukanlah hal yang mudah dalam mencapai kemerdekaan tersebut. Namun, tantangan mempertahankan kemerdekaan juga bukanlah hal yang remeh temeh, bahkan lebih berat daripada mencapainya.

17 Agustus 1945, negara Republik Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Namun, ternyata memproklamirkan kemerdekaan saja tidak cukup. Para penjajah masih saja terus berusaha merebut negara Indonesia untuk tunduk di bawah kekuasaannya. Semangat gotong royong pendahulu kita dalam mencapai dan mempertahankan kemerdekaan, mengusir penjajah dari NKRI sepatutnya kita teladani.

"Tidak penting apa pun agama arau sukumu... Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu...", Gus Dur
Masih segar dalam ingatan kita, belum lama ini Indonesia menjadi juara dunia Bulu Tangkis dalam ajang Olimpiade kategori ganda campuran. Semangat nasionalisme semakin menggelora. Luka dari ajang perlombaan yang lain pun sedikit terobati. Bangsa kita adalah bangsa bermartabat, dengan rendah hati kita mudah memaafkan. Ternyata Tuhan telah mempersiapkan kemenangan besar di depan sana. Rencana Tuhan, siapa tahu?

Camp pesona kebhinnekaan

16 Agustus 2017 yang lalu, Duta Damai Regional Yogyakarta menghelat acara Camp Pesona Kebhinnekaan yang diselenggarakan di Watu Payung, Selo Langit, Gedhang Atas, Sambirejo, Sleman, DIY. Acara tersebut merupakan rangkaian kegiatan Mewarnai Indonesia yang diadakan oleh Duta Damai Regional Yogyakarta. Acara yang mempertemukan komunitas pegiat media sosial, pelajar, komunitas lintas iman, pelaku pariwisata dan lintas komunitas lainnya.

Sayur asam pincuk daun jati


Siang hari, tepat matahari di atas kepala, aroma sayur asam telah melambai-lambai. Seluruh peserta, panitia dan warga berkumpul untuk santap siang bersama. Makan siang kala itu dikemas dengan sangat sederhana, tetapi begitu nikmat dan bermakna. Tempat makan menggunakan daun jati dan daun pisang. Kedua daun tersebut sangat mudah ditemui di tempat ini, warga pun memanfaatkan apa yang telah disediakan oleh alam. Sayur asam, tempe goreng, ikan teri goreng, krupuk dan nasi putih, menjadi menu santap siang kami. Gethuk menjadi makanan penutup dan cemilan kala itu. Semua menu santap siang kami adalah hasil kreasi masakan dari warga Gedhang Atas, terutama para kaum wanita. Dengan sukarela mereka bergotong royong memastikan perut kami tak kelaparan.

Belajar geo heritage

Mas Ndut saat bercerita sejarah batuan di Selo Langit (Duta Damai Jogja)

Berada di Selo Langit, nampaknya tidak sah jika tak belajar tentang geo heritage. Pembelajaran yang sedang tren saat ini. Pada kesempatan itu, hadir di tengah-tengah kami Dr. Didit Hari Barianto. Mas Ndut, begitu sapaan akrabnya. “Ilmu bumi itu tidak membumi”, kalimat pembuka yang disampaikan oleh Mas Ndut. Beliau menganalogikan, bahwa banyak orang yang jago menghitung tetapi ketika ditanya “Itu batuan apa?” banyak yang tidak mengetahui. Masyarakat awam pada umumnya masih banyak yang salah kaprah mengenai batu dan batuan. Menurut pemaparan beliau, Selo Langit adalah bibir kawah gunung berapi (dulunya) dan Watu Payung merupakan Rock Fall atau batuan jatuhan akibat letusan gunung berapi.

Viral yang direncanakan

Mas Eko (@infoseni_) saat memaparkan tentang viral di dunia maya
Berbicara dunia maya, berbicara pula mengenai media sosial. Keresahan penyebaran konten-konten negatif di dunia maya, terutama sosial media telah menghantui masyarakat. Isu berbau agama dan SARA dibuat untuk menyulut konflik bahkan mengancam persatuan sebuah bangsa. Lebih dari itu, serangan radikalisme dan terorisme sudah merambah ke dalam banyak elemen. Oleh karena itu Eko Nuryono, salah satu pegiat media sosial di Yogyakarta mengajak diskusi cara memviralkan konten positif di dunia maya. Diskusi tersebut berlangsung dengan seru, sayang sekali waktu membatasi kami. Kami tak sempat mempraktikkan secara langsung ketika kala itu.

Senin, 21 Agustus 2017 tepat pada pukul 16.00 WIB Sahabat Damai bergotong royong memproduksi konten positif menaikkan tagar #PesonaKebhinnekaan. Hari itu Sahabat Damai mengaplikasikan apa yang telah mereka dapat dari diskusi di Selo Langit. Viral yang direncanakan tersebut berhasil mereka capai. Kurang lebih pukul 18.16 WIB, tagar #PesonaKebhinnekaan telah menduduki trending topik nasional di sosial media twitter.

Tirakat di dalam Kenduri

Kenduri malam tirakatan (@genpiJOGJA)
Malam tirakatan tujuh belas Agustus dikemas dengan acara Kenduri dan diskusi. Kenduri tersebut dilakukan bersama warga Gedhang Atas. Warga berbondong-bondong dari rumah mereka menuju Watu Payung dengan membawa berkat, berupa makanan dengan aneka ragam lauk pauk dan sayur serta pencuci mulut. Kenduri merupakan wujud syukur kepada dan memohon keselamatan kepada Tuhan. Kenduri ditutup dengan santap malam bersama.
Pembicara dan moderator diskusi Kebhinnekaan (@genpiJOGJA)
Hadir pula di tengah-tengah kami, Romo Teguh Sentosa dari KWI (Konferensi Wali Gereja Indonesia), Hairus Salim HS dari LKIS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), Allisa Wahid dari Gusdurian yang notabene adalah putri dari mantan presiden RI Abdurahman Wahid dan Camat Pambanan. Setelah santap malam selesai, kami melanjutkan diskusi kebhinnekaan. Diskusi semakin syahdu dengan iringan cokekan yang merupakan kesenian kreasi warga sekitar. Tak terasa, waktu semakin larut malam. Kami pun harus menyudahi diskusi kami. Diskusi ditutup dengan Deklarasi Kebhinnekaan.

Upacara bendera pertama kali dilakukan di Selo Langit

Upacara peringatan 17 Agustus di Watu Payung (@genpiJOGJA)

Mentari 17 Agustus 2017 merekah di ufuk timur. Kami pun bersih diri dan bersiap untuk melakukan upacara bendera peringatan hari kemerdekaan RI. Upacara di Watu Payung merupakan pengalaman baru dan tak terlupakan bagi saya sendiri. Berbeda dengan upacara bendera pada umumnya, yang mana ada paskibra dan sebagainya. Upacara bendera di Watu Payung berbeda. Warga Gedhang Atas melibatkan diri menjadi petugas upacara. Menjadi petugas upacara merupakan pengalaman baru bagi mereka. Dibantu oleh teman-teman dari Saka Pariwisata Sleman, dalam waktu singkat mereka dilatih dan dinyatakan siap menjadi petugas upacara bendera. Dengan keterbatasan dan kesederhaan, kami melaksanakan upacara bendera dengan penuh khidmat. Tentu saja dengan tak menghilangkan esensi upacara bendera tersebut.

Selesailah upacara bendera 17 Agustus, selesai pula rangkaian acara Camp Pesona Kebhinnekaan. Namun, rupanya warga sudah terlanjur cinta dengan kami. Kami pun belum diperbolehkan pulang. Warga Gedhang Atas menginginkan kami menonton pertujukkan kesenian mereka sekali lagi. Kali ini bukan cokekan, mereka mempersembahkan kesenian taria kuda lumping. Kami pun disuguhi aneka kudapan sebagai teman menikmati pertunjukkan tersebut.

Meski tak memiliki kaki, waktu terus saja berjalan. Ada perjumpaan, maka ada perpisahan. Sebelum melakukan salam perpisahan. Duta Damai Regional Yogyakarta mengajak para warga untuk menonton kreasi mereka. Kreasi dalam bentuk video dokumentasi yang dikemas secara apik. Tanpa aba-aba, senyum para warga merekah saat menonton video dokumentasi tersebut. Suasana pun menjadi bahagia, namun langit haru masih menggelayut. Akhirnya, kami pun harus benar-benar berpisah. Kami harus berpisah untuk kembali, lagi.
Penandatanganan Nota Deklarasi Dama (@genpiJOGJA)
Deklarasi Damai (Duta Damai)
Acara Camp Pesona Kebhinnekaan merupakan acara yang terselenggara atas kerjasama Duta Damai Dunia Maya BNPT Regional Yogyakarta dengan Duta Damai Dunia maya BNPT Regional Semarang, Generasi Pesona Indonesia (GenPi) Jogja, Warga Gedhang Atas di dukung oleh BNPT, PMD, Dinas Pariwisata DIY, Kominfo DIY, Dinas Pariwisata Sleman, Kecamatan Prambanan, Alumni Bopkri 3 Yogyakarta, Gusdurian, Masyarakat Digital Jogja, Gereja Marganingsih Kalasan, Vulkanik Adventure, Shiva Plateu, Komunitas Bloger Jogja, Komunitas Kompasianer Jogja.

Cerita di atas hanyalah secuil kisah meneladani kebiasaan nenek moyang kita, gotong royong. Kisah tersebut tidak akan pernah terjadi jika tidak ada gandeng tangan dari berbagai pihak, baik masyarakat dan stake holder yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya. Selama dua hari tersebut, kami berusaha dan belajar tentang bagaimana menjadi Jogja, menjadi Indonesia.

Salam, Om Swastiastu, Namo Budaye, Rahayu,

Dimas.

Video:
Hari Pertama Camp Pesona Kebhinnekaan
Hari Kedua Camp Pesona Kebhinnekaan

Author

Panyupoyahoho Panyupoyahoho Hidup adalah sebuah "permainan". Berpikir positif, coba lagi, lakukan, let's play!

Posting Komentar

I'm a part of

Kompasianer Joga