Tradisi Mitoni di Desa Adat Mangunan
Monumen revitalisasi Sendang Mangunan |
Berbicara tentang orang Jawa, menurut saya sama halnya membicarakan orang
kreatif. Salah satu suku di Indonesia ini memang terkenal dengan orang-orangnya
yang kreatif dan pandai memaknai segala sesuatunya.
“Lumakune koyo macan
luwe”, begitulah ungkapan untuk cara berjalan Putri Solo. Cara berjalannya
yang lemah gemulai bak macan yang lapar.
“Koyo bulus angrem”,
ungkapan bagi seorang wanita yang sedang hamil tua. Diibaratkan seperti
kura-kura yang sedang mengeram.
Begitu luasnya daya imajinasi orang Jawa sehingga melahirkan
banyak ragam tata cara upacara adat yang sarat dengan makna simbolik.
Diantaranya yang menandai siklus kehidupan manusia sejak masa pra kelahiran.
Tradisi Mitoni
Sungkeman |
Upacara adat yang dilakukan untuk calon ibu yang sedang mengandung
pada usia kehamilan menginjak tujuh bulan. Biasanya, upacara tersebut dilakukan
pada kehamilan anak pertama. Tujuannya adalah sebagai doa, harapan dan rasa
syukur kepada Sang Pencipta. Pada usia kehamilan tersebut, umumnya janin yang
ada di dalam kandungan sudah hampir sempurna. Rasa antusias sekaligus cemas
akan menghantui calon orang tua menjelang hari persalinan tiba. Mitoni atau
tingkeban dilakukan sebagai sarana doa kepada Yang Maha Kuasa agar si calon ibu
dan calon jabang bayi diberikan keselamatan serta kelancaran dari hari
menjelang proses persalinan hingga proses persalinan.
Jika sobat pembaca mencari di mesin pencari dengan kata
kunci ‘mitoni’ atau ‘tingkeban’, akan langsung banyak bermunculan artikel ulasan
mengenai hal tersebut. Wikipedia pun memilikinya, bahkan yang versi bahasa Jawa
sekalipun.
Seperti artikel yang bertebaran di luar sana mengenai mitoni
atau tingkeban, salah satu upacara adat Jawa tersebut memiliki rangkaian
upacara seperti: sungkeman, siraman,
ngrogoh cengkir, brojolan atau brobosan, membelah cengkir, pantesan-pantesan,
ngangrem, potong tumpeng, pembagian takir pontang, klimaksnya adalah dodol
rujak atau dawet.
Mitoni ala Mangunan
Berjalan menuju Sendang Mangunan untuk prosesi siraman |
Tetapi mitoni di desa Mangunan berbeda. Minggu, 18 Juni 2017
saya dan beberapa rekan saya berkesempatan untuk melihat dan mengikuti prosesi
adat mitoni yang dilakukan oleh masyarakat desa Mangunan, Bantul, Yogyakarta.
Terdengar lucu memang, ketika ke Mangunan bukannya foto-foto
di hutan pinus dengan spot-spotnya yang hits, tetapi malah melihat upacara
adat. Jangan salah. Desa Mangunan juga memiliki wisata desa adat, itu yang
perlu sobat pembaca ketahui.
Lebih lucu lagi ketika ada perntanyaan maupun pernyataan
terlontar “Kenapa sih mesti ribet? Hamil
ya hamil aja, doa bisa di mana saja, ndak perlu ribet”. Semua kembali ke
pribadi masing-masing, menurut saya. Tetapi bagi masyarakat desa Mangunan, nguri-uri atau melestarikan adat
istiadat adalah kewajiban mereka yang masih diberikan kehidupan. Karena dengan
melestarikan adat, kita akan lebih menghargai dan menghormati leluhur kita,
serta mengenal siapa sejatinya kita.
Apa yang berbeda?
Siraman |
Sobat pembaca tidak akan menemukan air tujuh sumber yang
digunakan untuk siraman. Mitoni ala Mangunan siramannya menggunakan air dari
sendang (kolam yang airnya berasal dari mata air) Mangunan. Kenapa? Kok tidak lazim? Pertanyaan tersebut
terbesit bukan di pikiran sobat pembaca? Saya akui bahwa saya pun ketika
mengikuti prosesi adat mitoni di Mangunan juga terbesit tanda tanya-tanda tanya
seperti itu, bahkan lebih.
Tak mau ambil pusing dengan tanda tanya di dalam kepala,
saya mencari klarifikasi ‘kejanggalan’ tersebut. Saya pun diajak si pemberi
penjelasan ke masa lalu. Kepercayaan masyarakat Mangunan, sendang Mangunan
merupakan sumber kehidupan mereka, dari nenek moyang hingga saat ini. Menurut
penuturan dari pemberi kejelasan, sebut saja Mas Ipung. Konon, sendang yang ada
di Mangunan adalah sumber mata air yang terpencar dari puncak Sudimoro, yaitu
telaga Mardigdo. Dari letak geografisnya yaitu di perbukitan, mustahil di
daerah Mangunan memiliki sumber mata air yang tak pernah habis meskipun musim
kering panjang. Untuk menjaga, memelihara dan menghormati sendang tersebut,
masyarakat Mangunan selalu memusatkan kegiatan upacara adat mereka di sendang
Mangunan tersebut. Ooo... sudah O-nya, jangan panjang-panjang.
Brojolan |
Selain siraman, ada lagi rangkaian acara yang berbeda. Jika
di tempat lain rangkaian acara setelah brojolan atau brobosan adalah membelah
kelapa gading atau cengkir, di Mangunan tidak ada. Mengapa demikian? Menurut
kepercayaan masyarakat Mangunan, rejeki itu sudah diatur oleh Sang Maha
Pencipta. Jadi, urusan si jabang bayi nantinya lahir berkelamin laki-laki atau
perempuan itu urusan Sang Maha Pencipta. Bisa jadi si jabang bayi nantinya
se-keren selebritis wayang, Kamajaya dan Dewi Ratih.
Bak Penghitungan Suara Pemilu
Pantes-pantesan |
Yang unik dari prosesi mitoni di Mangunan menurut saya
adalah ketika rangkaian acara pantes-pantesan. Yaitu, calon ibu dikenai kain
jarik dengan berbagai motif. Motif kain jarik yang dikenai berjumlah tujuh
motif, antara lain:
- Sido Mukti (melambangkan kebahagiaan)
- Sidoluhur (melambangkan kemuliaan)
- Truntum (melambangkan agar nilai-nilai kebaikan selalu dipegang teguh)
- Parangkusuma (melambangkan perjuangan untuk tetap hidup)
- Semen rama (melambangkan agar cinta kedua orangtua yang sebentar lagi menjadi bapak-ibu tetap bertahan selama-lamanya/tidak terceraikan)
- Udan riris (melambangkan harapan agar kehadiran dalam masyarakat anak yang akan lahir selalu menyenangkan)
- Cakar ayam (melambangkan agar anak yang akan lahir kelak dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya).
Ketika kain dikenai kepada si calon ibu, akan ada teriakan
bak penghitungan suara “Sampun pantes? (Sudah pantas?)”. Semua orang yang
mengikuti prosesi tersebut spontan akan berteriak menjawab “Dereng! (Belum!)”.
Kain pun akan diplorotkan (dicopot
dengan cara menarik kebawah). Begitu seterusnya hingga kain terakhir. Kain terakhir yang tercocok adalah kain dari bahan
lurik bermotif lasem dengan kemben motif dringin. Dan ketika ditanya lagi, semua
akan spontan berteriak “Sampun pantes! (Sudah pantas)”. Saya pun antusias
memberikan hak suara saya.
Kehamilan anak pertama lebih berkesan
Angrem-angreman |
Tekad masyarakat Mangunan
untuk melestarikan adat istiadat mereka, tampaknya sudah bulat. Mereka pun
terbuka dengan dunia luar. Tak seperti desa adat lainnya yang mungkin terkesan
lebih ekslusif ketika orang lain tidak diperkenankan melakukan upacara adat
isitiadat mereka.
Sobat pembaca bisa merasakan
tradisi mitoni di Mangunan, bahkan bisa menjadi aktor utamanya! Masyarakat
Mangunan memiliki penawaran menarik bagi masyarakat luas yang ingin merasakan
dan mengalami tradisi mitoni ala Mangunan. “Ribet ah nanti”. Jangan khawatir, segala
ubo rampe (keperluan) untuk upacara
adat mitoni akan disiapkan oleh masyarakat Mangunan. Sobat pembaca tinggal
mengikuti arahan sutradara saja, bak artis.
Paket upacara adat mitoni
tersebut variatif, mulai dari harga hingga rangkaian acaranya. Ada yang paket
hemat dengan harga ekonomis dan prosesi tidak memakan waktu panjang karena
prosesi dipangkas diambil intisarinya saja. Ada juga paket komplit yang memakan
waktu lumayan dan membutuhkan kantong serta tenaga ekstra. Bagaimana sobat
pembaca, tertarik ingin mencoba?
Posting Komentar
Posting Komentar